* MEMBANGUN JEMBATAN, Merobohkan Tembok

Oleh: Irfan AmaLee

(Pidato pada Penerimaan Award for Multiculturalism dari Universitas Atmajaya Yogyakarta, bertepatan dengan Dies Natalis UAJY ke-45).

Irfan AmaLee

Beberapa hari yang lalu, tanggal 21 September adalah hari perdamaian Internasional. Ironisnya, sebelum tanggal tersebut, kalender kita masih saja dilumuri merah darah dan kebencian, yang membuat kita pesimis (untuk tidak mengatakan putus asa) apakah hari perdamaian ini dapat mendorong terwujudnya perdamaian di dunia? Ketika kita memerlukan banyak “jembatan”, justru “tembok” dan “benteng” banyak berdiri.

Di Amerika, negara yang menjadikan dirinya sebagai guru demokrasi dunia, praktik dan nilai toleransi tengah diuji. Masyarkat terlibat dalam polemik seputar rencana dibangunnya pusat kegiatan Islam di dekat lokasi hancurnya gedung WTC. Benteng pemisah berdiri, masyarakat terbelah, sebagian menyetujui dengan alasan bahwa konstitusi Amerika melindungi kebebasan setiap warganya untuk menganut, menjalankan agama, serta mendirikan rumah ibadahnya. Sebagian lagi mengecam, mereka merasa bahwa pendirian pusat aktivitas Muslim di sana melukai hati orang Amerika, terutama korban tragedi WTC. Di mata para pengecam, seolah-olah umat Islam memiliki tanggung jawab atas terjadinya peristiwa 911.

Sementara polemik di atas terus memanas, Terry Jones seorang Pastor Kristen, Dove World Outreach Center, di Gainesville, Florida, merencanakan sebuah aksi pembakaran Quran untuk memperingati tragedi 911. Meski akhirnya acara ini dibatalkan, tetapi berita yang tersebar berkaitan dengan rencana ini telah mengundang reaksi keras bukan saja dari Umat Islam. Benteng bukan hanya meninggi, tapi mengurung orang-orang yang berpandangan sempit, sehingga mereka (sebagain umat kristen yang setuju dengan acara ini, dan umat Islam yang mengutuk rencana ini) tak mampu lagi melihat jalan damai dan toleransi.

Di Pakistan, sebuah bom meledak di tengah iring-iringan kaum muslim Syi’ah yang tengah merayakan hari Al-Quds, hari solidaritas untuk Muslim Palestina. Pada peristiwa ini, 65 orang tewas dan ratusan lain luka-luka. Peristiwa ini mempertebal tembok pemisah antara umat Sunni dan Syi’ah (yang belakangan jadi fenomena juga di beberapa negeri Muslim) yang menjadi penghalang terciptanya perdamaian di Pakistan dan dunia.

Di indonesia, ujian tak kalah berat. Umat beragama diuji dengan kasus penusukan jemaat HKBP. Kasus penusukan ini adalah sebuah akibat. Akibat dari ketidakmampuan kita, umat beragama –dan juga pemerintah– mengatasi gesekan antarumat beragama yang pasti selalu terjadi, dan selalu menuntut kedewasaan kita untuk mencari solusi tanpa kekerasan. Laporan Setara Institute memperlihatkan bahwa angka kekerasan bermotif keagamaan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Di semester awal tahun 2010 sudah tercatat 28 kekerasan, jauh melampui angka kekerasan pada tahun 2008-2009 yang sekitar 24 kekerasan setiap tahunnya. Kegagalan membangun jembatan komunikasi antarumat beragama, telah menghasilkan benteng yang semakin tebal dan tinggi yang mengurung setiap kelompok umat untuk tidak saling berkomunikasi.

Lalu kita bertanya dalam hati, kalau memang agama datang sebagai penerang hidup manusia, maka mengapa justru beberapa hari terakhir ini agama menjadi alasan orang untuk saling bertikai? Ketika agama memerintahkan kita untuk membangun jembatan, justru kini kita sibuk membangun tembok pemisah.

Menjadi jembatan kecil: tindakan kecil untuk perdamaian
Ketika tembok dan dinding terus berdiri, masih ada beberapa gelintir orang yang terus berjuang untuk membangun jembatan-jembatan kecil. Wayne Lavender, seorang pastor yang telah menjadi pastor selama 25 tahun di United Methodist Church melakukan aksi kecil namun nyata menjadi jembatan untuk perdamaian dunia. Rencana acara pembakaran Quran yang dimotori oleh Terry Jones menggerakkan Wayne untuk melakukan aksi kebalikannya. Dia memesan 50 eksemplar Quran dan mengirimkannya ke sejumlah gereja di Amerika, dengan harapan setiap geraja menjadikan Quran sebagai koleksi wajib perpustakaan geraja. Dalam Common Ground News edisi 7 Spetember 2010, dia menjelaskan tentang motivasi aksi simbolik ini “Misinformasi tentang islam dan mengutip ayat secara asal dan melepaskan konteks ayat Quran menjadi trend di Amerika. Pesan-pesan ini harus dilawan dengan pesan-pesan kebenaran yang akan membawa perdamaian dengan keadilan. Islamofobia lebih baik diatasi dengan mencoba mengetahui dan memahami al-Qur’an.”

Irfan AmaLee, salah satu pendiri PeaceGen, saat menerima penghargaan dari rektor Universitas Atmajaya Yogyakarta untuk Multikulturalisme, 2010

Aksinya itu dia tularkan juga lebih luas, dia mengajak masyarkat luas untuk membeli Quran dan menyimpannya di tempat-tempat Ibadah umat Kristiani dan mendorong umat Kristiani untuk membaca mengenal lebih dekat agat tidak menyalahfahami Quran. “Jika kita tidak bisa membangun toleransi di negara Amerika ini, saya mengkhawatirkan masa depan yang penuh kekerasan di dunia ini?” ujar Wayne.

Upaya membangun jembatan juga dilakukan oleh Mona Eltahawi dengan aksi yang ia tulisakan dalam Common Ground News, “Hey America: I am a Muslim, let’s talk”. Bersama beberapa orang rekannya yang terdiri dari berbagai agama, selama empat hari menjalankan aksinya di trotoar dekat tempat akan dibangunnya pusat kegiatan Islam di Park 51 New York. Dengan penuh kesabaran dia mengajak dialog warga dan pejalan kaki yang kebetulan melintas. Sebagian menyambut ajakannya dengan antusias, tapi tak jarang makian dan umpatan yang dia terima. Pertanyaan seputar diskrimisai kaum perempuan di negeri muslim, terorisme, jihad dan isu-isu sensitif lain yang dilontarkan orang yang bersedia diajak diskusi dijawab Mona dengan semangat membangun pemahaman. Seorang pejalan kaki wanita bertanya, “Tidakkah kamu tahu bahwa mendirikan masjid di dekat lokasi 911 melukai hati korban dan keluarga korban tragedi 911?” Dengan tenang Mona balik bertanya, “Tidakkah Anda merasa bahwa pertanyaan anda seolah menuduh bahwa Muslim bertanggung jawab atas tragedi itu”. Selanjutnya mereka terlibat tanya jawab yang terus mengarah pada saling memahami. Seorang kristen yang memberondong puluhan pertanyaan tentang Islam selama setengah jam merasa bahwa dialognya dengan Mona adalah dialog terbaik yang pernah ia alami. Setiap selesai menjalankan aksinya, setiba di rumah, Mona selalu berpikir apakah dengan berdialog dan memberi pemahaman yang benar tentang Islam kepada enam orang warga Amerika akan membantu mengubah wajah dunia? Setidaknya dia sedang meruntuhkan tembok, dan berusaha membangun jembatan, sekecil apa pun.

Untuk Pakistan yang terus didera kekerasan, Aisam-ul-Haq Quraesy adalah jembatan. Petenis Muslim Pakistan ini dengan berani berpasangan dengan Rohan Bopanna seorang Hindu dari India sebagai teman mainnya di lapangan tenis. Keputusan yang berani sekaligus kontroversial, mengingat India dan Pakistan adalah dua negara yang sejak merdeka dari Inggris terus mengalami ketegangan bahkan sempat telribat perang senjata tiga kali. Permusuhan menjalar bahkan ke arena olahrahga. Setiap kali tim kriket India bertemu Pakistan, Stadion penuh sesak penonton fanatis yang meneriakkan nasionalisme negara masing-masing. Dengan slogan STOP WAR START TENNIS yang dituliskan di punggung t-shirt mereka, Quraesy-Bopanna mengayunkan raket tennis dan mendapat prestasi cemerlang dengan mneyabet runner up di turnamen bergengsi ATP World Tour. “Bila saya bisa bermain dengan Quraesy, pasti masyarakat kami bisa melakukannya,” ungkap Boppana pada satu kesempatan.

Bagaimana saya bisa menjadi jembatan?
Saya percaya bahwa perdamaian tidak bisa ditunggu, tapi harus diciptakan. Meskipun tembok-tembok kebencian terus berdiri, SETIAP KITA harus terus berusaha menjadi jembatan. Jembatan bagi dua orang yang berselisih, jembatan bagi dua kelompok yang belum saling memahami, jembatan bagi timur dan barat jembatan bagi berbagai peradaban. Dan sejak empat tahun lalu saya memulai proyek jembatan saya bersama seorang sahabat bernama Eric Lincoln.

Eric Lincoln, seorang warga negara Amerika, penganut kristen protestan yang taat. Seorang ayah dan suami yang membaca, menghayati serta menerapkan ajaran-ajaran injil. Dan saya, lahir dari keluarga muslim yang taat, puritan. Cita-cita kuat ayah saya agar salah seorang anakya menjadi kiayi menakdirkan saya menghabiskan enam tahun masa remaja di pondok pesantren.

Pertemuan pertama saya dengan Eric terjadi di sebuah kelas bahasa Inggris di Kantor Mizan tempat saya bekerja. Saya berdusta kalau saya tidak memiliki prasangka pada Eric pada kali pertama peremuan kami. Ketika Eric melempar sebuah tema diskusi krisis ekonomi dan kenaikan harga, dengan lantang saya mengatakan, “because of your country, I dont like your president!”. Di kemudian hari Eric bercerita pada saya bahwa kejadian itu cukup membuatnya shock dan berpikir bahwa bahwa ada seorang anggota “taliban” di kelas bahasa inggrisnya.

Selepas kelas berakhir, dengan canggung dan hati-hati Eric mengajak saya berdiskusi, dengan tetap menyimpan sebuah prasangka bahwa dirinya sedang berbicara dengan seorang Muslim garis keras anti Amerika. Setelah cukup lama berdiskusi, kami saling memahami bahwa prasangka kami sama sekali tak terbukti. Saya mulai mengenalnya sebagai seorang kristen yang taat tapi sekaligus toleran. Dia seorang warga Amerika namun tak menyetujui sebagian tindakan yang tak masuk akal pemerintahnya. Eric pun mulai mengetahui bahwa saya seorang Muslim yang percaya bahwa kesetaraan, toleransi dan perdamaian sebagai bagian integral dari nilai-nilai Islam–Islam sendiri berasal dari akar kata Salam yang artinya damai. Sebelum kedatangannya ke Indonesia, Eric adalah guru konseling yang mendampingi remaja menghadapai permasalah gangster, kekerasan dan obat terlarang di Chicago. Saat kuliah saya terlibat dalam program pendidikan anti kekerasan untuk ratusan remaja di sepuluh kota di indonesia. Semakin kami jauh berdiskusi, semakin banyak kesamaan yang kami temui. Hingga diskusi kami sampai pada satu pernyataan: Jika saya dan Eric mampu meruntuhkan tembok dan membangun jembatan antardiri kami yang berbeda, maka kami pasti kita bisa menjadi jembatan bagi ratusan, ribuan, jutaan orang lain. Apa yang bisa kami lakukan bersama untuk menjadi jembatan? Kami teringat pada sebuah pesan dari Mahatma Gandhi: If You want to make peace In The World, You have to start with Children

Satu tahun berikutnya kami terlibat dalam diskusi intensif dan menyusun sebuah buku sederhana berupa komik berisi 12 nilai Dasar Perdamaian. Kami menganggap bahwa langkah ini sangat strategis, mengingat sulitnya ditemuai bahan belajar tentang perdamaian bagi anak-anak dan remaja di Indonesia. Buku yang dikemas dalam bentuk komik dan games ini mengajarkan 12 nilai dasar perdamaian dimulai dari damai dengan diri sendiri, menghapus prasangka, menghormati perbedaan, mengatasi konflik hingga sikap memaafkan.

Irfan AmaLee dan buku 12 Nilai Dasar Perdamaian

Secara bergerilya, kami yakinkan banyak sekolah, pemerintah, lembaga lokal dan internasional untuk menerapkan program pendidikan damai yang kami rancang. Sebagain pihak tertarik dan menerapkan, sebagain hanya mengatakan tertarik tanpa ada kesungguahun untuk menerapkan, dan sebagain lagi bahkan tak mengizinkan kami untuk sekadar masuk ke kantor mereka untuk mempresentasikan program kami. Program ini pertama kali diterapkan di sejumlah sekolah dasar dan menengah di kabupaten Aceh Jaya. Setelah itu beberapa sekolah di Jawa Barat, Banjarmasin dan Gorontalo menyusul menerapkan. Hingga kini sekitar 23.000 siswa telah menjalankan pendidikan perdamaian di berbagai wilayah di Indonesia. Program pendidikan damai ini dijalankan guru atau pendamping yang kami latih dalam berbagai training. Hingga kini kami telah melatih lebih dari 1000 guru dan fasilitator yang kami sebut sebagai Agent of Peace.

Banyak yang bertanya, apa hasil dari program kami? Mengapa berbagai tindakan kekarasan masih saja terus terjadi, bahkan meningkat? Catatan KPAI menunjukkan bahwa kekerasan di sekolah mencapai angka 780 ribu kasus seteiap tahunnya. Bohong besar kalau saya mengatakan bahwa usaha yang kami lakukan mampu menyelesaikan kasus-kasus kekerasan yang telah mengurat-mengakar dalam budaya, sistem pendidikan sekolah dan rumah berabad-abad lamanya–dan celakanya terus menerus di-endorse oleh media. Kami cukup bahagia ketika beberapa orang guru mengatakan bahwa siswa-siswa yang bergabung pada program ini memiliki kesadaran baru tentang memahami diri, menghrgai perbedaan serta mengatasi konflik. Seorang guru melaporkan bahwa angka kekerasan di sekolahnya cenderung menurun paska penerapan progarm ini secara massal di sekolahnya. Seorang siswi pesantren memberikan kesaksian bahwa dia merasakan manfaat nyata dari program ini. Mengajarkan nilai-nilai dasar perdamaian pada anak-anak adalah sebuah langkah awal Dan proyek jembatan kami masih cukup panjang.

Breaking Down The Walls
Awal 2008, saya mengajak dan Erik mengajak anak-anak Bandung Alliance International School (BAIS)–yang mayoritas warga negara asing dan beragama Kristen–untuk datang juga ke pesantren Darul Arqam Garut Jawa Barat.

Ketika gagasan ini disampaikan sejumlah orangtua sswa BAIS

Eric Lincoln (tengah, berdiri, berbaju abu-abu), rekan Irfan AmaLee dalam membuat program Peace Generation, dalam sebuah kesempatan program PeaceSantren

yang menganggap ini sebagai ide berbahaya. Mereka sangat khawatir jika akan terjadi sesuatu yang buruk, “Mau dibawa ke man anak saya?” begitu pertanyaan salah seorang orangtua siswa. Ada yang mengkhawatrkan bahwa pesantren bukanlah tempat yang aman bagi mereka. Dari ratusan siswa, hanya 16 orang yang menyatakan bersedia untuk ikut acara “berisiko” ini.

Keraguan pun muncul dari pihak pesantren. Pihak pesantren khawair pandangan masyarakat, apa kata dunia, ada orang-orang “non muslim menginap di pesantren?” Setelah proses negosiasi yang alot, akhirnya pihak pesantren menyetujui dengan sejumlah syarat, termasuk syarat tidak boleh menginap.

Hari itu pun tiba. Tanggal 6 Febuauri 2008 sekitar 16 anak sekolah internasional memasuki daerah yang berlum pernah mereka jamah: pesantren. Santri bergerombol siap menyambut tamu asing. Meski acara dimulai agak kaku, namun dalam beberapa jam saja mereka sudah asyik bermain, berdiskusi, dan mempersiapkan materi yang harus mereka presentasikan di akhir acara.

Buat Grace salah seorang siswa dari BAIS, mungkin itu adalah hari terbaik dalam hidupnya. Dia baru setahun terdampar di Indonesia, dan dia benci dnegan keputusan ayahnya untuk bertugas di Indonesia. Selama setahun, dia meratapi nasibnya sebagai anak Amerika yang terdampar di negeri asing yang tidak dia sukai. Dia tak punya dan tak berminat untuk berteman dengan orang Indonesia. Pada hari itu semuanya berubah. Grace seperti menemukan kacamata baru yang membantunya melihat hal-hal menakjubkan tentang Muslim, Indonesia, pesantren. Dia ungkapkan kebahagiaannya itu pada Eric beberapa hari setelah acara ini usai.

Ini juga hari luar biasa buat Susi, siswi pesantren yang tak pernah punya teman orang orang asing. Di awal acara Susi diwawancara tentang persepsi dia mengenai orang bule. dia berpendapat bahwa smeua orang barat itu kasar, sombong, nggak bakal mau berteman dnegan “inlander”. Tapi semua prejudice itu tiba-tiba runtuh daam waktu kurang dari dua belas jam.

Saya melihat sebuah pemandangan yang begitu menyentuh. Siswa BAIS dan santri berbaur saling mebobrol, bertukar nomor hp, memainkan permainan tradisional. Saya menyaksikan sebuah tembok besar yang selama ini mengelilingi kehidupan mereka tiba-tiba runtuh. Tak ada lagi dinding perbedaan agama, warna kulit dan bahasa. Hingga matahari hampir sempurna tenggelam di barat, mereka harus segera berpisah. Rombongan siswa BAIS akhrnya pergi meninggalkan kesan yang mendalam, sementra para santri melepas kepergian sahabat baru mereka dengan rasa haru. Hari itu menjadi hari yang bersejarah bagi hiudup mereka. Saya bekhayal, jika salah seorang dari anak-anak itu adalah George W Bush muda, mungkin dia akan menjadi presiden yang lebih baik daripada sekarang, punya pandangan yang lebih bagus tentang Muslim atau Indonesia.

Proyek jembatan kami berlanjut dengan mempertemukan dua band dari dua negara, agama, dan budaya dalam acara Rock The Peace. North of Here sebuah band dari Georgia yang anggotanya anak-anak muda kristiani, bahkan salah satu personilnya adalah seorang music director gereja di Georgia Amerika. Dengan bermodalkan uang hasil penjulan es krim yang diberi nama “Lick the Hate” (jilat kebencian) mereka terbang ribuan mil dari Amerika untuk bermain bersama The Ma’had sebuah band yang beranggotakan anak-anak pesantren. Penampilan mereka di Union Square Ciwalk Bandung berhasil menyedot ribuan penonton. Konser ini berhasil menyampiakan pesan bahwa perbedaan bukanlah alasan untuk tidak saling bekerjasama.

Walk The Peace

Sukses Rock The Peace disusul oleh Walk The Peace. Dua puluh siswa dari US, korea dan kanada bersama dua puluh siswa dari indonesia melakukan perjalanan bersama sepanjang 200 km dari Bandung ke Pangandaran. Mereka singgah dan menyebarkan pesan perdamain di dua puluh sekolah dan komunitas yang dilalui selama perjalanan. Salah seorang peserta dari Amerika adalah Gab, pemuda berusia 21 tahun yang pernah terjun di peran Iraq. Sebuah insiden di Iraq menyebabkan dirinya mengalami luka bakar dan menghentikan karirnya sebagai tentara. Komitmennya untuk memulai “visi baru” mendorong dia bergabung dalam Walk The Peace.

Jembatan juga kami bangun melalui olahraga dengan sebuah aktivitas yang yang kami namakan Kick the Hate, sebuah kompetisi sepakbola pantai atau futsal yang mempertemukan berbagai kelompok. Kami pun mempertemuakn sekolah-sekolah yang berbeda untuk melakukan aktivitas menanam pohon bersama di lahan-lahan tandus dalam sebuah acara Plant the Peace, telahs ekitar 300 pohonyang ditanam dalam program ini. Di masa mendatang sejumlah program lain tengah kami rencanakan seperti Taste the Peace festival makanan dari berbagai budaya, Talk the Peace menghadirkan pembicara-pembicara inspiratif yang akan membagikan pengalaman mereka dalam aktivitas perdamaian, Read the Peace sebuah ajang mengapresiasi karya karya tulis yang mengangkat tema-tema perdamaian, dan masih banyak jembatan-jembatan lainnya.

***

Saya sadar bahwa proyek meruntuhkan tembok dan membangun jembatan ini masihlah sangat panjang. Masih diperlukan ratusan, ribuan, bahkan jutaan jembatan. Jembatan-jembatan yang sudah kami bangun hanyalah contoh kecil yang semoga menjadi pemicu lahirnya jembatan jembatan lain. Usaha membuat jembatan dalam terminologi Islam dikenal sebagai Silaturrahim, menyambungkan tali kasih sayang. Nabi Muhammad Saw. dalam berbagai sabdanya menjanjikan imbalan yang besar berupa rezeki yang luas dan usia yang panjang untuk para penyambung tali kasih sayang ini. Sebaliknya, Rasul memberi peringatan yang keras kepada orang orang yang membangun benteng, memutuskan tali kasih sayang, “Tidak akan masuk surga yang memutuskan tali kasih sayang” (HR Muslim no. 4636) Hal senada juga diungkapkan dalam Injil “Dan buah yang terdiri dari kebenaran ditaburkan dalam damai untuk mereka yang yang mengadakan damai”. (Yaqub 3:18)

Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak setiap kita untuk bertanya, pada diri sendiri: Sudahkan kita menjadi jembatan? Apakah kita justru telah ikut ambil bagian dalam membangun dan mempertebal tembok yang memisah-misahkan umat manusia?

Bandung, September 2010

Irfan AmaLee

untuk pidato pada penerimaan

UAJY Award Dies Natalis UAJY ke-45.

Post a comment or leave a trackback: Trackback URL.

Leave a comment